Jumat, 10 Mei 2013

Sudah Terbit Serat Centhini dwi Lingua Jilid Dua



Sebentar hari lagi, minggu depan, akan beredar Serat Centhini Dwi Lingua Jilid 2 dari 12 jilid. Karya Sastra Klasik Jawa abad 18 karya Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang lengkap disajikan dalam teks asli bahasa Jawa dan terjemahannya baris demi baris, oleh Sunardian Wirodono.
|DATA BUKU
(1) Fisik: Ukuran 13,5 x 21 Cm. Tebal tiap jilid minumal 600+ hal. Kertas mangkak 70 gram (total 12 jilid, baru terbit jilid 1 dan 2, dan semoga mulai Juni 2013 terbit jilid berikutnya tiap bulan)
(2) Bahasa: Jawa dan Indonesia

(3) Harga per-eksp., Rp 100.000 (Edisi Hardcover), Rp 85.000 (Edisi Soft Cover) + ongkos kirim Rp 20.000 untuk dalam Jawa dan Rp 30.000 untuk luar Jawa.
(4) Penerbit: Yayasan Wiwara, Pr. Griya Taman Asri H-303, Panasan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta55581. Telepon 0274.865682


|CARA PEMESANAN/PEMBELIAN
(1). Tuliskan nama dan alamat lengkap, yang bisa dijangkau pos, ke inbox akun fb Sunardian Wirodono, Membaca Serat Centhini, dan atau email ke sunardianwirodono@yahoo.com atau yayasanwiwara@yahoo.com. Sertakan nomor HP untuk konfirmasi.
(2) Transfer uang pembelian buku via bank, dan seterusnya akan disampaikan via email.

Terima kasih dan salam
Yayasan Wiwara
Sunardian Wirodono



Senin, 16 Januari 2012

Kutbah Pagi Syekh Amongraga

Ilmu pengetahuan itu, Dinda, merupakan anugerah yang Maha Mulia. Mereka yang belum mendapatkan anugerah, diumpamakan pepohonan yang bergerak menurut kencang dan lembutnya angin. Kalau tiada angin, ia sama sekali tiada bergerak. Yang demikian itu, Dinda, ialah yang belum mendapatkan wahyu Illahi, dan tiba-tiba menjadi merasa hebat begitu diberitahu, seperti segera ingin dipertontonkannya, teramat bernafsu. Namun, jika angin pergi, tiada satu pun gerak, tiada satu pun keinginan. Diam membeku. Seolah tiada bekas.
Belajarlah menunduk ketika mendengarkan, karena ia bagaikan air yang menguatkan akar.
Sekali lagi dengarkanlah, manusia utama itu, Dinda, bagaikan daun yang bergerak tanpa angin, namun diam dalam tiupan topan badai. Gerak hatinya ialah pengingatan.
Jangan kau lupakan, bersyukur, tawakal, dan berpasrah diri, ialah kan jadi wadah yang kukuh bagi pengetahuan. Karna, jika pengetahuan ibarat emas-pemata, ketika kau temukan ia takkan terwadahi oleh daun jati yang kering-kerontang. Manakala kau tenteng bongkahan emas itu, daun jati kering 'kan ambrol dibuatnya. | Serat Centhini (nasehat Syekh Amongraga kepada Syekh Malangkarsa), Sri Susuhunan Pakubuwana V (1785-1823), diterjemahkan texy by text oleh Sunardian Wirodono (2011), dan direncanakan bisa selesai pada akhir 2012. Jilid Pertama, sudah diterbitkan.

Minggu, 20 Februari 2011

Mutmainah, Aluamah, Amarah, dan Supiyah dalam Serat Centhini

Di puncak Gunung Rawun, berada di wilayah Banyuwangi, di tepi pantai Selat Bali, Raden Jayengsari dan Niken Rancangkapti yang sedang mencari kakaknya, Raden Jayengresmi, bertemu dengan seorang Perempuan Pendeta, Dewi Tan Timbangsih. Keduanya, mendapatkan ajaran mengenai 'nafsu-nafsu manusia', yang kemudian dituturkan sebagai berikut, dalam Serat Centhini bab 75 s.d 77.

 | 75 DHANDHANGGULA

012.
Hatta, adalah sebuah cerita,
dari Hadist Marqum Baslam,
dengan bahasa kiasan agar
bisa menjadi pengingat-ingat,
jika kau mengetahuinya, kau akan selamat.
Ialah cerita mengenai nafsu manusia.
Tentang kehidupan Aluamah,
nafsu Amarah,
nafsu Supiyah,
dan nafsu Mutmainah.
  
013.
Adalah Raja Mutmainah namanya.
Bergelar Sang Prabu Kesusilaan.
Kehidupan Mulia panggilan lainnya.
Menurut cerita dalam wahyu,
negaranya bernama Lupa Kebaikan,
tak satupun punya prajurit.
Namun, betapa sangat
berkuasa ia di dunia raya ini.
Tiada satupun yang berani melawannya.
Sejagad raya kan bisa dibinasakannya.

014.
Ia hanya berbala pikiran.
Sekejap saja bala tentara tanpa bilangan.
Sang Mutmainah kekuasaannya,
meski tak mempunyai saudara,
tak mempunyai prajurit satupun,
ia memiliki restu dan berkah.
Demikianlah diceritakan.
Ganti kemudian yang kita uraikan,
adalah tiga raja yang sangat perkasa.
Semuanya sangatlah saktinya.

015.
Yang pertama Raja Diraja
bergelar Maharaja Aluamah,
Maharaja Amarah adiknya,
dan yang bungsu,
Maharatu Supiyah namanya.
Mereka adalah para pahlawan sakti.
Lembut tiada tersentuh,
semuanya memiliki prajurit yang tiada tara.
Sebanyak makhluk yang ada di muka bumi.
Sebanyak butir pasir di lautan.

016.
Tiga raja itu pun keluar,
maka keluar pulalah para wadyabala,
meruyak segera memenuhi bumi,
solah tingkahnya aneka rupa,
Rakyana Patih Memuja-celaka,
Tumenggung Ngomong-bohong,
juga Arya Bikin-ribut.
Panji Brani-jahil pun menghadap.
Rangga Wira-tenung, Rangga Taktahu-malu,
dan Rangga Suka-ingkar.

017.
Ngabei Brani-malu pun muncul,
Ngabei Pengkhianat menghadap,
juga Ngabei Tak-serius,
Ngabei Banyak-makan
dan Ngabei Suka-irihati,
Ki Demang Doyan-makan,
Ki Demang Pecinta-tidur
dan Ki Demang Ngantukan,
Ki Demang Mulut-kotor, Ki Demang        Rajin-malu,
dan Ki Demang Watak-kasar.

018.
Lurah Males-malesan-tidur-mulu pun hadir,
juga Lurah Tak-punyaotak, menghadap juga,
beserta Kyai Lurah Kelupaan-terus.
Semuanya berada di hadapan.
Lengkap semuanya hadir.
Bersabda Sang Maharaja
Prabu Aluamah
kepada adiknya, Raja Amarah,
juga kepada para pemimpinnya,
bagaimana yang menjadi kehendak mereka.

019.
Mereka hendak angkat senjata perang,
merangsek ke negeri Raja Mutmainah.
Agar segera hancurlah kerajaan itu,
tak ada lagi yang melihat dan tak ada yang mengucapkannya lagi,
karena keperkasaannya semata.
Kemudian adiknya berkata,
“Jika  memang demikian kehendak Raja,
segera kita mendatanginya, kita remuk,
biar tumpas habis sekalian.”

020.
Demikianlah sesudah semuanya berfikir
dan menyetujui Sang Raja Aluamah,
“Jika sudah demikian keputusannya,
ayo segera lakukan,
jangan sampai menjadikan ragu.
Adi Raja Amarah,
dan semua prajuritmu,
demikian juga adikmu sekalian,
ya dinda Ratu Supiyah, jangan lupa
ajaklah semua prajuritmu.”

021.
Segera raja Amarah memerintah
pada Patih Angkaramurka,
untuk memberangkatkan prajuritnya,
keluar dari kerajaan,
yang beristanakan di hati
yakni ‘ati puat’ tempatnya,
demikian sejatinya,
‘puat’ ialah limpa kecil
yang menguasai iri-dengki atas segala hal.
Itulah sifat dari Amarah.

022.
Nini Ratu Supiyah pun memanggil
Patih Ni Mbok Jelalatan,
juga Ni Tumenggung Ngintip-terus,
Nyi Arya Mata-yuyu,
dan Nyai Coretan-alis,
Nyai Rangga Mesam-mesem,
Nyai Adu-wajah,
bersama Nyai Parikan,
Nyai Nempel, Nyai Pemberi wangi-wangi,
Nyai Gampang-kepengin.

023.
Keluar dari hati maknawi,
ialah kepura-puraan sejatinya.
Adapun penguasaannya,
serba kepengin pada banyak hal,
mempengaruhi agar berhasrat memiliki.
Kemudian Raja Aluamah
mengundang segera pada Patih Pemangku-celaka,
beserta Tumenggung Arya-ngabei,
beserta para pendukungnya semua.

024.
Ketika keluar dari hati-siri,
siri sejatinya ialah
berada di jantung.
Adapun penguasaannya
pada nasu makan,
sembarang yang ingin dimakan,
karenanya kemudian tabiatnya
menjadi pelupa untuk pekerjaan lain.
Wajah Aluamah ialah hitam belaka,
sedang nafsu Amarah,

025.
bercahaya merah menyala,
dan nafsu Supiyah bercahaya
kuning warnanya.
Ke-tiga nafsu itu,
mengotori keheningan cipta.
Adapun hening itu ialah,
nafsu yang mulia,
ialah nafsu Mutmainah,
istananya berada di hati-sanubari.
Ibu dari kesempurnaan hati.

026.
Cahyanya putih memancar,
penguasaannya ialah sabar, menerima,
sabar,
tawakal, beriman, selamat,
itulah yang akan ditaklukkan
oleh Prabu Aluamah
dan semua prajuritnya.
Bergumuruh suaranya memenuhi jagat raya,
demikian barisannya dipecah menjadi tiga
dalam perintah Raja Aluamah.

027.
keluar dari mulutnya,
penuh amarah dan keras suaranya.
Raja Amarah mempunyai lubang
telinga yang kasar dan kotor,
centang-perenang di dalamnya tak karuan,
tapi juga bocor tak bisa menerima, atau
tuli tiada bisa mendengar apapun.
Ada pun Ni Ratu Supiyah,
keluar dari mata yang melirak-lirik,
dengan keinginan yang serba mendadak.

028.
Segera mereka tiba di istana hati sanubari,
segera dikepung bagai buaya mangap,
rapat dan tiada celah pun tersisa.
Yang menjadi panglima perang
Para Patih Perempuan gagah perkasa,
sakti mandraguna,
ampuh dalam setiap perang.
Mereka biasanya merusak agama,
menghancurkan perbuatan baik,
menggagalkan orang bertapa.

029.
Melupakan pekerjaan mulia,
karenanya banyak orang terjebak kejahatan
karena tingkahnya sendiri.
Sebabnya ialah nafsu,
menjadikan celaka.
Kekuatan dari Aluamah,
dan nafsu Amarah,
serta kesaktian Supiyah,
setiap hari menggagalkan pekerjaan baik,
dan tidak boleh ada yang selamat-sejahtera.

030.
Sudah tertata semuanya untuk menggempur
sang Raja Mutmainah.
melihat musuhnya datang
mengepung negerinya dari segala sisi,
maka segera diciptanya bala prajurit,
Para Bupati dan punggawa,
menghadap padanya,
berbaris lengkap beserta panglimanya.
Rakyana Patih Sabar-maklum di depan,
Tumenggung Ithmi’nanan.

031.
Arya Sederhana, Arya Berbudi,
Ngabei Pekerja-keras,
Ngabei Ikhlas-biayanya,
Rangga Ikhlas di depan,
Rangga Tawakal dan Demang Pandai,
juga Demang Musyawarah,
Demang Tafakur.
Lengkap semuanya menghadap.
Bersabda Sang Raja Mutmainah tenang,
kepada para prajuritnya.

032.
“Eh, bagaimana kehendakmu ini,
datang musuh tiada terbilang banyaknya,
merusak hati yang saleh.”
Ki Patih Sabar-maklum
berkata, “Inggih, marilah segera
sekuat-kuatnya
sebaiknya kita lawan,
dalam kehendak untuk memerangi.”
Berkata Prabu Mutmainah, “Iya, baiklah,
perang melawan pihak yang kafir.”

033.
Kemudian berangkatlah barisan, perlahan
dari hati sanubari,
keluar melalui hidung jalannya.
Putih cahayanya,
kemudian segera merapatkan barisan,
dan mereka pun berhadap-hadapan.
Tak ayal, terjadilah perang pupuh,
saling adu pukul, baku-hantam,
Yang bupati melawan bupati, prajurit
perang melawan prajurit.

034.
Mangku-blai melawan Rahayu-budi,
Angkaramurka musuh Ithmi’nanan,
Suka-tidur dan Betah-melek ramai,
jatuh-menjatuhkan.
Doyan-makan melawan Kuat-lapar.
Yang Jahil melawan Sederhana,
mereka pagut-memagut.
Ki Iri-hati melawan Sabar.
Ki Juru-Sombong melawan Ki Menerima,
ramai mereka bertikai.

035.
Bergantian yang unggul dan kalah,
Tak pernah akur setiap harinya.
Tiada yang kalah keduanya.
Raja Aluamah melihat
pada prajuritnya yang berperang,
Perang berlarut tanpa kesudahan.
Tak ada yang menang dan kalah,
segera Raja Aluamah
memanggil bala bantuan
para prajurit raksasa.

036.
Begitu banyaknya raksasa, tak terhitung.
Pemimpinnya bernama Watakburuk,
juga Tingkah-berlebihan
juga Pengumbar-syahwat,
juga Penyiksa dan Tak-kuat-lapar,
juga Si Bingung-menapaki-hidup,
juga Pemuja-makan
juga Klana Berangasan,
juga Jaka Gendeng dan Tak-punya-ingatan
juga Pengobrak-abrik.

037.
Segera mereka diminta maju
Raja Aluamah perintahnya,
“orang satu lawanlah sebanyaknya bisa,
keroyok satu orang dengan dua-tiga orang,
kerubut empat sekalian, biar lekas mati,
hingga semua segera sirna,
jangan ada yang bisa memungut
binatang bernama Keselamatan.
Tidak patut kerjaannya merusak Sombong,
dan mengurungkan Celaka.

038.
Segeralah tumpas habis dalam perang.”
Segera bertandang para nafsu raksasa,
penuh kemarahan gerak-geriknya,
mengeroyok enam, tujuh, delapan,
menghantam, menindih, menelikung,
membanting, apa saja.
Maka jagat raya pun
makin sempit diberakoti raksasa.
hingga semakin habis bala kesucian.
Tewas tumpas, semuanya.

039.
Para prajurit kesucian dimangsa
menjadi santapan para raksasa.
Segar-bugar lega hati mereka.
Perut-kenyang mengangguk-angguk
Tak ada lagi prajurit terlihat,
hanya tinggal para raja
yang masih bertahta.
Risang Mutmainah
demi melihat hancurnya bala prajurit,
bertkad melawan hingga ajalnya.


 | 76. SINOM

0 01.
Ada sebagian ulama berpendapat,
muktamat para musanip,
benih dari nafsu itu
ialah yang disebut akal-budi.
budi yang bermula dari
martabat akhadiyyat
di dalam ghaib letaknya.
latakyun di dalam nukat ghaib.
Budi ialah sebagai sarana Allah.

002.
Karena itu sudah senyatanya,
Wujud Allah ialah Dzat Allah,
ialah dua-duanya yang satu.
Manusia dan budi,
budi sebagai kalam Illahi.
Manusia berbadan Rasul.
Ialah yang disebut,
ia manusia dan juga ia budi,
meski tidak kuasa memerintah umat.

003.
Berebut di dalam dan di luar,
manusia dengan budi,
bagaikan emas dan tembaga
dicampur dijadikan satu dalam wadah,
hilang nama keduanya,
menjadi Suwasa, seperti logam emas,
Karena itulah sama
manusia dan  budi tersebut.
Wujud budi terdiri nafsu empat sekawan.

004.
Ke-empat nafsu itu
ialah cerminan manusia sesungguhnya.
Pesan untuk kehati-hatian kalian,
manusia atas budi itu
jika salah maka ia akan membuat gelap.
Budi Aluamah itu
tidak bisa dibendung,
ia berwatak dipenuhi keburukan
jika berkawan perilaku buruk, maka jadilah.

005.
Jika tajam wawasanmu,
karena keutamaan budi,
budi itu meliputi pada
mutmainah kalian.
Jika kalian tunduk kepada Allah,
maka akan menemu selamat sejahtera.
Bukan kesejahteraan yang lahiriah,
melainkan di dalam ukuran keillahian.
Namun jika ilmu kalian belum mencapainya,

006.
akan selalu riuh berhiaskan aneka-rupa,
agar orang-orang akan melihatnya.
Di dalam iman yang sudah istijab,
dalam bicaramu mesti berhati-hati.
Hormat sepenuh taklim
kepada ilmu pengetahuan, agar
selepas dari seluruh pemikiran, ialah
kemuliaan budi yang bertambah.
Selalu mukawahdah takabul dalam mengajar.

007.
Dalam kenyataan, wallahu’alam.
Mengulang kembali cerita.
Maharaja Mutmainah,
setelah musnahnya para prajurit,
iapun kemudian mengadakan sayembara.
Jika manusia ia haruslah baik,
jika dikuatkan
membendung musuh selangit.
Jika manusia harus berbuat celaka,

008.
Maka tak urung akan kalah perang,
tidak kuat melawannya.
Jika yang menjadi tujuan ialah surga,
manusia yang tajam dalam budi,
yang akan mendapatkan berkah sejati,
iaa pasti akan kuat melawan,
sekali pun harus sakit atau mati.
Daripada mati selagi hidup,
tidak dapat dipastikan keberadaannya.

009.
Allah menciptakan keberuntungan buruk,
sebanding dengan keberuntungan baik.
Manakah yang kalian pilih?
Sebegitupun semua sudah dipastikan,
yang menang dalam peperangan, dan
yang akan kalah dalam perang,
semuanya adalah milik Allah.
Ganjaran buat manusia,
ialah sekedar apa yang dilakukannya.

010.
Jika semuanya itu diterima,
maka doa kepada Allah,
agar kuatlah kalian berperang,
jangan engkau takut mati,
perkasa dan teguhlah dalam peperangan.
Tetaplah engkau menjadi raja,
raja bagi kerajaan Iman.
Kuat sebagai prajurit sejati.
Raja Mutmainah pun segra ke medan laga.

011.
Ia memakai pakaian kemuliaan,
pakaian Keutamaan Ilmu.
Ikat kepalanya ialah Sarak-Syariat,
penguatnya Kekhusyu’an Doa,
berkeris Sempana-pengetahuan.
Membaca Takbir-ikramu,
berkain sinjang Percaya-diri.
bercelana panjang Tafakur,
memakai terompah Bercermin-diri.

012.
Naik kendaraan bernama Nafas,
bernafas dengan pengetahuannya,
cambuknya hanya satu ialah Tinggalkan,
kuda yang menariknya Selalu-ingat,
dengan kendali Iman-tauhid,
Rukun Islam setidaknya,
tutup dahinya ialah Makrifat,
pelananya Ilmu-hakikat,
ranjang tidur tetaplah Iman-yang-kokoh.

013.
Sang Sri Raja Mutmainah,
mengamuk dengan cambuknya,
sesumbar dengan berani,
tidak cengeng dan khawatir,
melawan begitu banyak musuh,
semuanya tak ada yang mundur,
dikerubut berapa juta pun,
tidak ‘kan takut karena mati,
karna keyakinan esok menemu kemuliaan.

014.
Tepat dan cermat menggunakan senjata,
pusaka Cemethi digunakannya.
Bala-tentara Aluamah,
mati terkena sabetannya.
Patih Pemuja-celaka,
Tumenggung Sombong-tak-terkira mampus.
Tukang-bekoar dan Pengkhianat,
Si Sungkan dan Doyan-jahil mati.
Demikian pula Buruk-susila dan
Pengumbar-syahwat lenyap.

015.
Semua musuh kini telah dikalahkan.
Tak ada satupun tersisa.
Tampaklah kemudian Raja Aluamah,
sesudah prajuritnya kalah,
ia berkata kepada dua adiknya,
“Bagaimana ulah kesaktian kalian?”
Kemudian Raja Amarah dan
Ratu Supiyah, menjawab,
“Bagaimana jika kita keroyok bertiga saja?”

016.
Setelah diputuskan demikian,
maka mereka pun bersiap siaga.
Berbusana bagai banteng.
Ikat kepalanya ialah Haram-Najis.
Paningsetnya Tidak Ingat,
memakai kain jarit Tak Percaya Hukum,
bercelanakan panjang Sia-sia,
berterompah Tanpa Ilmu,
dengan bacaan Jelas-bohong, dengan keris Selintutan.

017.
Mereka pun naik kuda,
kuda dengan warna hati terbakar gosong,
namanya Para Pendusta,
dengan kendali Ogah Kebaikan,
dengan ikat-tali Sombong-maksa,
tali di atas leher Hamburkan Apa-saja,
tali ekor Mursal,
berpelana Tinggalkan-berbakti,
pijakan naik bernama Dengki dan bersifat Salah-pengertian.

018.
Cemethinya bernama Doyan-ngomong,
dengan tutup dahi Lagak-kaya,
lakunya Suka-nyeleweng,
dengan sesumbarnya Lupa-tuhan,
tanganny selalu tudang-tuding,
serta menghamba perut,
berkata bahwa dirinya yang berkuasa,
ilmu pembawa celaka,
aku si manusia tanpa akal, pembuat celaka.

019.
Ketika sudah saling berhadapan,
peperangan para pemimpin,
ramai dalam peperangan itu,
dalam perang itu ia dikerubut tiga,
di depan dan kanan-kirinya,
Mutmainah berupaya membingungkan
pada ke-tiga raja,
karena tak takut meski
dikeroyok tiga raja.

020.
Sang Raja Mutmainah
terkena tombak berkali-kali,
digocoh begitu rupa,
tak bisa disela
atau dengan cara diputus-putus.
Raja Mutmainah ambruk
beserta kudanya.
Kelojotan tak bisa lagi bangun.
Namun masih kukuh dengan tekadnya.

021.
Digocok-gocoh tanpa sela,
sembari berteriak, “Matilah kamu,
habis sudah kamu!
Tak mungkin lagi kau hidup.
Ayo lawanlah segera!”
Raja Mutmainah berkata,
“Ayolah, tuntaskan.
Sesukamu apa saja,
ingsun tiada takut sakit dan mati.”

022.
Sang Mutmainah seketika,
bertekad dalam hatinya,
percaya pada keyakinannya,
jika manusia harus baik,
semoga dikuatkan dalam peperangan ini,
bisa membalas hukum,
menumpas Aluamah,
Amarah, atau pun Supiyah. Segera setelah
mendapat berkah, segera ia laksanakan.

023.
Tepat pada sasaran ia memukul,
Raja Aluamah dipecutnya,
pas di pelipisnya,
jatuh terjerembab ia.
Sang Raja Amarah menolongnya,
tapi terkena cambuk tulang-hidungnya,
terjungkal jatuh di tanah.
Ratu Supiyah menolongnya,
tercambuk pula wajahnya dan jatuh.

024.
Roboh di atas tanah,
berkelojotan tiga raja itu,
lemas-lunglai selamanya,
tak bisa berkata-kata.
Lama kemudian barulah terbangun.
Raja Mutmainah berkata,
“Bagaimana atas kehendakmu,
apakah engkau meminta kematianmu?
Jika kau pinta, kubinasakan kalian.”

025.
Ketiga Raja itu pun menjawab,
“Sekehendak hati Paduka, adakah
diampuni atau dibunuh.
Jika boleh, tentu kamu memohon hidup.”
Sang Raja Suci tersenyum,
“Bagus sekali kata-katamu,
tidak sepadan dengan
keinginanmu meminta hidup.”
Dicambuknya lagi kepala ketiga raja.

026.
Raja Aluamah, Amarah, dan
Ratu Supiyah semuanya pun tewas.
Jasadnya berkilat
seluruh warga dari tiga-raja itu,
sesudahnya kemudian
Sang Raja Mutmainah
hendak membedah kota,
membongkar isi seluruh negeri,
betapa istananya begitu kuatnya.

027.
Istana Raja Aluamah,
cepurinya berpagar besi.
Istana Raja Amarah,
cepuri istananya dari tembaga merah.
Istana Ratu Supiyah,
cepuri istananya dari perunggu.
Sang Raja Mutmainah
kemudian berada di gapura istana,
berdiri dalam tembang pura-asmara.


| 77. ASMARADANA

 001.
Syahdan yang berada di dalam puri,
para isteri dan anak-anak,
mereka bertangis-tangisan,
para estri di dalam puri,
menangis nelangsa,
sangat sedihlah hatinya,
akhirnya mereka kan jadi jarahan.

002.
Para isteri semuanya menjerit,
mereka semuanya
berkumpul jadi satu
berada di puri Hati Limpa Kecil,
di kota Raja Amarah,
semuanya diboyong jadi satu,
bagai ikan pindang sebagai pampasan.

003.
Ada dua putrinya yang cantik,
satu puteri dari Raja Aluamah,
yang satunya anak Raja Amarah,
lebih cantik wajahnya.
Bercahaya bagaikan rembulan.
Ada pun yang menjadi namanya
Sang Ratna Ayu Salasiyah,

004.
Sedangkan yang lebih muda, Dewi Rifai.
Sepeninggal ayahnya,
sangatlah berduka hatinya,
menangis dengan menekan dada,
merintih, memilukan,
“Aduh, Ayahnda, hamba ikut serta,
siapa yang kan hamba sembah?”

005.
Tiada berapa lama,
Raja Mutmainah pun
masuk ke dalam istana,
melihat para keluarga tiga raja, semua.
menangis di istana,
swara tangis bergemuruh,
menyebut-nyebut raja mereka.

006.
Ia pun bertemu dengan kedua puteri,
keduanya menangis sesenggukan,
Raja Suci berkata,
“Hentikanlah tangismu,
sayangilah matamu,
demikian juga suaramu kan terganggu,
juga suram wajahmu.

007.
“Lah, untungnya masih ada aku,
janganlah kalian sedih berlebihan,
kalian berdua, diamlah,
yang bagai purnama maya!”
Sang Retna Ayu keduanya,
membuka mata dan melihat,
lelaki tampan gagah perkasa di depannya.

008.
Rupawan sangat dengan cahaya berkilau,
ketika bertemu pandang, berdesir hati,
dua puteri itu kalah wibawa.
Dengan suara antara isak tangis,
berkata di dalam hati,
“Dialah gerangan
yang membunuh ayahku!”

009.
Dewi Rifai memberi isyarat
pada Ratna Salasiyah,
“Kita mundur saja, tak ada guna berunding,
meski kita menjadi tawanan,
jangan dianggap gampang.”
Maka keduanya pun kemudian pergi,
bagai bulan purnama tersaput mega.

010.
Terdengar jeritan tangis,
hanya rintihan kepiluan,
mengharap sang ayah yang sudah tiada.
Kemudian Raja Mutmainah
melihat pada dua puteri itu,
dan mengikutinya dari belakang.
Bermanis-manis ia bersabda,

011.
“Berhentilah sejenak ratu pepujian,
duh, bunga-bunga anugrah,
bermuatkan semua rahmat,
tolonglah hatimu,
jika sudah kehendak Suksma,
diganjar oleh kemarahan dan kecantikan,
bagaimana kau akan menolaknya.

012.
Karenanya, aku bersabung nyawa,
membela puteri mustika
jika kalah maka akulah yang tiada,
semuanya sudah kehendak Suksma
Maka engkau dan aku,
ialah bercampurnya rahmat dan wahyu,
bertemu dalam hidayat, petunjuk Allah.

013.
Berhenti kemudian tangis dua puteri,
kemudian mereka berkata,
setelah duduk dengan baik,
“Wahai Sang Raja Mutmainah,
jangan mengampangkah tingkah,
sekali pun seluruh tubuhku
menjadi tawananmu,

014.
namun sudah kepupus pasti,
karena menjadi permintaanku,
kepada andika, Sang Raja,
jika menyanggupi keinginanku,
aku menjadi isterimu,
sekali pun harus dimadu,
aku kan turut serta bersamamu.

015.
Namun jika tidak, aku tidakkan sudi!”
Raja Mutmainah pun berkata,
“Apakah yang pinta dariku?
Pasti ‘kuakan penuhi
sembarang keinginanmu/”
Sang Ratna Ayu pun berkata,
“Adapun permohonanku,

016.
“Hidupkan kembali ayahku.
Hidupkan ke-tiganya sekalian,
ialah ayah kami yang sudah tewas.
Aku akan menurut apapun,
jika engkau berkuasa
menghidupkan kembali yang telah tewas.
Betapa kau ialah anugrah kehidupan.”

017.
Sang Raja Mutmainah
mendengar permintaan kedua puteri,
ia pun terlihat bingung hatinya.
Akhirnya ia berkata pelan,
“Bagaimana sudah kemurahanhatiku,
sudah demikianlah sifat prajurit,
mati membela negara.

018.
Semuanya sudah kehendak Allah,
keduanya hidupun,
atas kedua ayahmu yang telah mati,
mereka akan merajalela, merusak agama,
melampiaskan hawa nafsu.”
Sang Dyah pun kemudian menyahut,
“Jika demikian, kau belum berkuasa.

019.
Kedua kalinya,
jika ayahandaku tewas,
rusak semuanya jagat ini.
Paduka durhaka kepada Allah,
jika tidak engkau hidupkan.
Lagi pula, kami berdua tak hendak
ditawan sebagai isteri.”

020.
Raja Mutmainah berkata,
“Meski demikian, Juwitaku,
iya memang tak berkuasa aku,
jika ada ijin Allah,
sebab aku hanyalah perantara.
Jika mendapatkan ijin Allah,
kuhidupkan ayahmu.

021.
Ayo, segeralah kita ke sana,
kalian saksikan,
bagaimana ayah kalian hidup kembali.”
Kemudian mereka mendatangi
jasad Ke-tiga Raja.
Kembali pecah suara tangis Dyah Ayu.
Segera Raja Mutmainah

022.
berdoa kepada Hyang Widhi,
semoga dimudahkan
yang mati kembali hidup.
Diterimalah keinginan
Sang Raja Mutmainah,
tercipta angin dan kukusan,
anginnya ialah Hayatullah,

023.
Kukusnya ialah kukusan rejeki.
Tersampaikan apa keinginannya
di dalam kukus terdapat nasi
barulah terlihat hidungnya merekah
dan hangatnya secukupnya,
kemudian terasa berdenyar,
kemudian perlahan bergerak.

024.
Yang mati pun hidup kembali,
Sang Raja Aluamah,
Amarah, dan Supiyah.
Mereka pun kemudian duduk menghadap
di depan Sang Raja.
Maharaja Mutmainah pun bersabda,
“Kepada kalian ke-tiga raja,

025.
“Heh, Aluamah, engkau juga
Amarah, dan Supiyah,
sekarang kalian sudah hidup kembali.
Adakah kalian masih murtad?
Atau engkau menurut?”
Raja Aluamah berkata,
“Hamba tidak mengetahui,

026.
terserah pada kehendak Allah,
dikehendaki sakit atau mati,
hamba hanya bisa bersedia,
tak mempunyai kehendak satu pun.”
Sang Raja Mutmainah
berkata, “Jika engkau sudah
berpasrah sekehendakku,

027.
Maka menurutlah pada kehendakku,
engkau aku penjara saja,
di negaramu sendiri.
Aku yang akan memberimu makan,
tak akan kuberi kebebasan,
kukurung selamanya,
kuikat leher kalian!”

028.
Segera dilaksanakan
Sang Aluamah dipenjara.
Amarah dan Supiyah juga,
demikian pula kedua puteri.
Kemudian harta pampasan perang dibawa.
ke negeri Raja Mutmainah.
Bersuka cita, amatlah gembiranya.

029.
Ada setengahnya hadist yang mengatakan
amal yang empat perkara.
Pertama, manusia yang betah melek
Kedua, yang betah bertapa, prihatin,
mencegah makan dan amarah.
Amal ke-tiga ialah,
mereka yang sabar dan ikhlas.

030.
Sedangkan yang ke-empat ialah,
yang betah mengajarkan ilmu,
meningkatkan terus ilmunya,
merekalah manusia yang
akan bisa menguasai diri,
memenjarakan nafsunya.
Merekalah akan mendapat besarnya rahmat.

031.
Sekian sajalah ceritanya,
tak usah diceritakan bagaimana
pertemuan antara lelaki dan perempuan
cerita yang tak patut
dan hanya merangsang nafsu,
memudarkan hati yang tawakal
untuk bisa memangku iman.



| Lebih lengkapnya bisa dibaca dalam buku "Serat Centhini Dwi Lingua" Jilid 1 (tebal 655 halaman, lengkap dalam teks asli berbahasa Jawa dan terjemahan Indonesia oleh Sunardian Wirodono), yang maafkan, proses percetakannya masih menghadapi masalah pendanaan, karena diproses melalui sistem indie-label, dan masih sangat menanti hadirnya para pembeli buku itu untuk ongkos ganti cetak. Tapi, direncanakan tanggal 4 Maret 2011 akan di launching di Yogyakarta. Harga per-buku + ongkos kirim Rp 85.000,00, dengan cara memesan melalui email sunardianwirodono@yahoo.com atau yayasanwiwara@yahoo.com.