Selasa, 08 Februari 2011

Serat Centhini, Sebuah Ensiklopedi yang Mendongeng

Serat Centhini merupakan karya penting dalam khasanah sastra Jawa. Boleh dikata sebagai karya sastra klasik Jawa yang paling fenomenal. Pada tembang pertama serat itu digambarkan proses pembuatannya, yang tampak ambisius, dan tidak lazim.
Dikatakan ambisius, karena proses penulisannya berdasar suatu proyeksi, ditargetkan untuk menjadi “baboning pangawikan Jawi”, induk pengetahuan Jawa, atau dengan kata lain sebuah ensiklopedi, yang sumber-sumber penulisannya dicari sendiri baik secara literature maupun yang terpenting, secara empirik berdasar penjelajahan para penulisnya. Dan itulah yang disebut tidak lazim, karena sang penggagas membentuk suatu tim penulis dengan pembagian kerja tertentu.
Serat Centhini berbeda dari cerita yang terjadi di pedesaan atau pesantren, karena Serat Centhini merupakan suatu tenunan teks yang bersifat elegan. Selain itu, teks-teks dalam Serat Centhini disusun dari berbagai benang yang menyusuri pikiran, sejarah, dan Sastra Jawa dan Islam, yang dikembangkan dari bentuk gaya sastra Suluk. Serat Centhini lebih merentangkan gaya itu, sehingga menyebabkan terjadinya suatu bentuk yang baru, yaitu sebuah gaya penulisan yang sebelumnya tidak pernah diketahui dalam dunia kesusastraan Jawa.
Adalah putra mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat, bernama Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang meminta kepada tiga pujangga kadipaten (wilayah kekuasaannya selaku pangeran), untuk menuliskan sebuah cerita. Bentuknya berupa tembang, bermuatan ilmu dan ngelmu Jawa, yang sebagiannya diakui sebagai pengalaman dan pengetahuan pribadinya.
Tiga pujangga itu adalah para abdi dalem, atau karyawan, kliwon carik (juru tulis), di bawah kadipaten yang menjadi wewenang sang pangeran putra mahkota, bernama Sutrasna, dan kemudian disebut Ki Ngabei Raggasutrasna, dengan disertai (2) Raden Ngabei Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara), abdidalem bupati pujangga kadipaten, dan (3) Raden Ngabei Sastradipura, abdi dalem kliwon carik kadipaten, yang mendapatkan tugas khusus mempelajari agama Islam hingga ditugaskan naik haji ke Mekah, dan kemudian bergelar Kyai Haji Mohammad Ilhar.
Di luar tiga penulis pokok ini, masih terdapat beberapa kontributor, pembantu, yang memang ditunjuk oleh sang Pangeran, yakni: (1) Pangeran Jungut Mandurareja, penguasa tanah pradikan krajan Wangga, Klaten. (2)  Kyai Kasan Besari, ulama di Gebangtinatar, Panaraga, menantu Pakubuwana IV), dan (3).  Kyai Mohamad Minhad, ulama besar di Surakarta.
Sebelum melakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur. Yasadipura II, bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji, dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam. Tiga pujangga tadi dibekali selaksa ringgit emas, untuk berkelana.
Mereka menghimpun kearifan lokal, sekaligus penyimpangannya. Menghimpun ujaran dan ajaran para pertapa, peramal, empu, pande besi, pesulap, penyamun, ulama perempuan, dhalang, penafsir mimpi, hingga sampai para paria.
Setelah survey, riset, atau observasi ke lapangan, barulah kemudian mereka kembali berkumpul untuk proses penulisan secara tim. Penulisan dimulai pada Sabtu Pahing, 17 Desember 1815. (Mengenai tanggal penulisan ini, sumber data tertulis yang paling akurat adalah dalam pupuh bait 3-4, di situ tertulis (3) "Sabtu paing lek Mukaram wewarseku, Mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama Dewa Ri,..." dan (4) "...windu Adi Mangsa Sapta, Paksa Suci Sabda Ji", yang semuanya itu dalam kalendering, jatuh pada, Sabtu Pahing 25 Sura 1742, Wuku Marakeh, atau 25 Muharram 1230 Hijriah, atau dalam kalender Masehi jatuh pada hari Sabtu, tanggal 7 Januari 1815).
Data sebelumnya yang selalu menyebut Serat Centhini ditulis pada 26 Muharram 1230, tahun 1742 Jawa dan 1814 Masehi, tidak dipakai dalam buku ini. R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai menulis. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala “paksa suci sabda ji” (1742 tahun Jawa atau 1815 Masehi).
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid pertama, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebabnya diperkirakan karena kecewa, bahwa pengetahuan tentang masalah seksualitas (persenggamaan) kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 722 lagu.
Daerah teba atau isian kitab Serat Centhini, memang luar biasa beragam. Meliputi pendidikan, sejarah, geografi, arsitektur rumah adat Jawa, pengetahuan alam, agama, falsafah, tasawuf, mistik, ramalan, perlambang, adat-istiadat, obat-obatan tradisional, tatacara dalam budaya Jawa (perkawinan, pindah atau membangun rumah, menerima tamu, selamatan, meruwat, berganti nama, dan lain-lain), etika, ilmu pengetahuan (sifat manusia, psikologi), dunia flora fauna, obat-obatan tradisional, dan makanan tradisional), seni (seni tari, musik/suara, wayang, pedalangan, karawitan, topeng). Bahkan termaktub pula soal mistik, ramalan, sulapan, ilmu magi (ilmu kekebalan, ilmu sirêp, dan ilmu penjahat).
Ada pula ajaran tentang perilaku seks orang pada jaman dahulu, dengan penggambaran yang sangat verbal, dan bahkan vulgar. Semua dijelaskan pada bagian ini, mulai dari tuntunan sebelum melakukan senggama, hari larangan untuk melakukan senggama, dan bagaimana sebaiknya dalam melakukannya.

Apakah dan Mengapa Serat Centhini | Dalam catatan Denys Lombard, Serat Centhini terdiri dari 722 pupuh (jenis) tembang. Setiap pupuh terdiri beberapa pada atau bait, dan setiap baitnya terdiri dari baris-baris yang jumlahnya tidak tetap, yaitu antara 4 s.d 11 baris. Setiap larik mengandung sejumlah kaki mantra dan rima tertentu.
Bisa kita hitung jika setiap pupuh rata-rata ada 40 bait dan setiap bait terdiri dari (rata-rata) 7 larik saja, maka diperoleh 200.000 lebih baris, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan karya klasik wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey, yang masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 baris  (Lombard , 2005: 150).
Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombard (orientalis asal Perancis, pengarang buku Le Carrefour Javanais), dengan mengatakan sebagai berikut: “Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah diterbitkan, dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.”
Dalam pencermatan Soewito Santoso (seorang pengamat sastra Jawa), ada beberapa butir yang perlu dicermati dalam Serat Centhini. Yang pertama, kisah ini dimulai pada abad ke-19, bersamaan dengan terjadinya perang besar di Eropa, yang berakhir dengan Napoleon Bonaparte menjadi Kaisar Perancis. Sementara itu di Pulau Jawa terjadi rayahan atau jual beli tanah, satu di antaranya wilayah Probolinggo di Jawa Timur, yang dijual kepada seorang China bernama Han Ti Ko, seharga satu juta dollar. Pada waktu yang sama, di Jawa sedang terjadi Islamisasi.
Pada kenyataanya, di Surakarta, pendapatan kraton memang berkurang, karena praktik jual-beli tanah negari itu. Hingga pernah terjadi krisis keuangan keratin, yang menyebabkan Amengkunegara III nekad mengeluarkan uang emas cap jago kate, yang pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menggelontorkan uang ke istana.
Namun hal lain yang kadang menjadi pertanyaan tak terjawab, mengapa kitab yang sebelumnya berjuluk Suluk Tambangraras itu, kemudian lebih dikenal sebagai Serat Centhini, bahkan di kalangan istana sendiri pada waktu itu. Padahal Centhini ”hanyalah” emban, atau centhi (di Barat orang menyebutnya nanny) dari Nyi Tambangraras, anak perempuan Kyai Bayi Panurtha, istri Syekh Amongraga.  Ini ketidaklaziman yang lainnya.
Tak ada yang tahu. Namun beberapa fakta bisa ditunjukkan, betapa besar peran (pengaruh) seorang emban dalam kehidupan bendaranya. Centhini seolah Manthara, emban Dewi Kekayi, istri muda Prabu Dasarata dalam epik Ramayana. Karena bujukan Manthara, Kekayi menuntut janji Dhasarata untuk mewisuda Barata anaknya menjadi Raja Ayodyapala, dengan menghutankan putra mahkota Rama, anak permaisuri Kausalya.
Meski agak berlebihan, Centhini sendiri semula adalah “belahan jiwa” bagi Tambangraras. Sebagaimana dalam tradisi Jawa, masing-masing anak (tentu ini hanya berlaku untuk orang kaya dan berpangkat), memiliki rowang, rewang, atau centhi dari sejak ia kecil dan yang sebaya. Ia akan menjadi teman bermain, bahkan hingga kelak dewasa. Ada juga bahkan, yang tetap saja dalam posisi tuan/nyonya dan pembantu abadi. Sama-sama dari kanak-kanak hingga nenek-nenek.
Meski pun sesungguhnya, pada akhirnya nasib Centhini sendiri menjadi tidak jelas. Apa juga sesungguhnya peranannya, kecuali justru pada awal-awal perkawinan Tambangraras-Amongraga pada jilid-jilid V s.d VII, yang konon adalahj intisari dari Serat Centhini.
Serat Centhini, diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram, pada tahun 1736. Peperangan itu diawali oleh kegundahan Sultan Agung Mataram, atas kasunanan Giri yang tidak mau tunduk. Dengan kecerdasan strategi dan taktiknya, akhirnya Sunan Giri bisa dikalahkan dan takluk pada Mataram.
Kekalahan perang itulah awal dari sebagian besar setting cerita yang hendak dibangun oleh Pakubuwana V.  Tiga anak Sunan Giri, bernama Jayengresmi, Jayengsari, dan Rancangkapti, memilih untuk melarikan diri, daripada ditangkap atau menyerah kalah pada Mataram. Mereka berpisah jalan, Jayengresmi (yang kemudian akan menjadi Syekh Amongraga) ke arah barat (Jawa Tengah dan Bawa Barat), sementara dua adiknya ke arah selatan (Jawa Timur. Untuk diingatkan, Giri terletak di sebelah barat laut kota Surabaya sekarang ini). Meski rasanya kebetulan, namun penunjukkan tiga pujangga untuk menulis Serat Centhini, parallel dengan setting cerita yang hendak dibangun, meski sesungguhnya hal itu tidak belum terujikan relevansinya.
Dalam pelarian itulah, tiga anak Sunan Giri memperolah pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawi, syariat para nabi, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh Tuhan, Hadis Markum, hingga perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.  Kesemua yang diperoleh itu, yang kemudian dituangkan melalui 722 tembang..
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah dengan sumber referensi dari Kitab Jatiswara, yang bersangkala “jati tunggal swara raja” (yang menunjuk angka 1711 tahun Jawa, artinya masih pada zamannya Sunan Pakubuwana III).
Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Namun bila dianggap pengarangnya adalah R. Ng. Yasadipura I, akan terlihat meragukan, karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet karyanya.
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu. Termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama.
Namun pemilihan setting cerita, situasi paska perang Giri-Mataram menjadi menarik, justeru karena peperangan itu tidak karena pertarungan ekonomi semata, melainkan adalah persoalan ideologis di dalamnya. Apa yang digagas oleh Amangkunegara III atas Serat Centhini ini, menjadi mudah mengundang tafsir perlawanan, atau ketidakmampuan, dalam menghadapi situasi dalam negeri karaton Surakarta waktu itu, yang sedang hangat-hangatnya oleh proses-proses islamisasi.
Sementara salah satu tujuan penghancuran Giri, ialah karena Sultan Agung agaknya merasa Kasusunanan Giri menjadi penganggu eksistensinya sebagai seorang sultan panatagama.
Sultan Agung adalah raja Mataram yang paling terkenal. Beliau termasuk pahlawan yang gigih menentang praktek penjajahan Belanda. Dua kali Sultan Agung menyerang VOC di Batavia, yaitu tahun 1628 dan 1629 (Ricklefs, 1995: 67). Wawasan politik Sultan Agung sangat luas dan jauh ke depan.
Konsep politiknya yaitu doktrin keagungbinataraan, yang berarti kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak terbagi-bagi (Moedjanto, 1994: 160). Disitu tak boleh ada matahari kembali.
Keunggulan lain Sultan Agung, yaitu kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomasi dengan kraton luar Jawa. Kesungguhannya dalam mengembangkan kebudayaan, terlihat dalam penulisan tarikh Jawa, babad, dan pembangunan makam di atas bukit (Moedjanto, 1994: 157). Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapat julukan sebagai pujangga. Karya mistiknya yaitu Sastra Gendhing, Kitab Nitisastra, dan Serat Pangracutan.
Pada jaman Sultan Agung pulalah, ada penyesuaian kalender Jawa dengan kalender Islam. Silang sengketa antara paham kejawen dengan keislaman, dapat dikompromikan secara gemilang oleh Sultan Agung. Kalenderisasi baru ini berlangsung tahun 1633 (Bambang Kusbandrijo, 1992: 81). Sultan Agung mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Dia melakukan pembaharuan dalam bidang hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam, melembagakan kedudukan ulama secara proporsional, dan mengembangkan karya sastra Islam.
Dalam akhir cerita Serat Centhini, jilid XII, dituliskan dialog antara Begawan Sidawakya (yang tak lain adalah Sultan Agung) dengan Syekh Amongraga (yang sesungguhnya sudah tewas karena dibunuh oleh Tumenggung Wiraguna, dan jasadnya dibuang ke Laut Kidul). Antara keduanya, terjadilah ketidaksesuaian faham mengenai pemahaman raja dan ulama. Dan inilah tampaknya yang menjadi akar masalahnya. Apalagi kelak, justeru cucu dari Syekh Amongraga (turun dari Sunan Giri ini), yang menjelma melalui proses mistik atas perkawinan Pangeran Pekik-Ratu Wandansari (yang menurunkan seorang perempuan), dan kemudian kawin dengan anak lelaki dari Sultan Agung. Anak inilah yang kemudian menggantikan Sultan Agung. Dari perkawinan itu kemudian lahir penggantinya, Sunan Amangkurat, seorang raja paling kejam di tanah Jawa yang membantai ribuan ulama.
Agaknya, Serat Centhini adalah cerminan dari negosiasi antara Islam dan Jawa. Di mana Islam tidak dianggap lagi sebagai budaya yang agung keberadaannya.
Dalam surat Centhini, Islam dibaca sebagai sebuah kebudayaan yang sudah bercampur baur dengan kebudayaan Jawa. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar”, yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Islam justru difahami dengan mengkontekstualisasikan dengan budaya setempat.
Hal ini nampak sekali dalam Serat Centhini. Seolah antara Islam dan Jawa adalah satu kesatuan yang yang bisa terpisahkan. Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan antara Islam dan kejawaan, masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak terjadi kontestasi antara keduanya.
Berbeda dengan sebelumnya, kebanyakan orang menganggap bahwa Islam dan Jawa merupakan entitas yang berbeda, dan tidak bisa dipadukan. Kiranya serat Centhini memberikan gambaran betapa pertemuan antara keduanya (ulama-umaro) sangat mungkin terjadi. Sehingga terjadi pertukaran kebudayaan. Dimana budaya Jawa mengisi kekurangan tradisi Islam, demikian juga sebaliknya. Sastra Jawa, kiranya mengalami pengislaman secara alamiah, sehingga keduanya bisa hidup berdampingan dalam pengembangan sastra di Indonesia.
Di sini perlunya pencermatan, bagaimana Pangeran Dipati Anom Amangkunegara III (yang kemudian menjadi Pakubuwana V), menyodorkan ending Serat Centhini dengan bersatunya Islam model Giri dengan Islam model Mataram. Hal itu, bisa jadi, untuk menjaga ekstrimitas dan semangat Islamisasi yang sedang berlangsung pada jamannya.
Kedatangan Islam di Jawa berada dalam masyarakat yang penuh tradisi Hindu Budha dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah tertanam berabad sebelumnya. Kenyataan ini memaksa Islam untuk bisa menyesuaikan diri dengan tradisi dan kepercayaan Jawa yang sudah ada. Terjadilah saling serap, saling pengaruh antara keduanya, sehingga muncul kelompok-kelompok komunitas Jawa yang beragam.
Kelompok-kelompok ini, ada yang menerima perpaduan Islam Jawa (komunitas abangan), komunitas yang ingin mempertahankan kemurnian Islam (ahli syariat) dan kelompok yang menempuh jalan mistik dengan menggabungkan mistik Islam dengan mistik Jawa (ahli mistik). Hubungan, pergumulan, gesekan dan ketegangan antara Islam murni (Islam Syariat) dengan kepercayaan mistik Jawa, telah menjadi tema sentral dalam khasanah, budaya dan sastra Jawa.
Sebut saja kisah kasus Syekh Siti Jenar dan Pangeran Panggung. Sementara karya sastra Jawa yang berisi tema sentral di atas, antara lain Darmogandhul, Serat Cibolek dan Serat Centhini misalnya.
Serat Centhini pada dasarnya merupakan karya sastra Jawa yang monumental dan spektakuler dilihat dari ketebalan halaman (12 jilid, sekitar 4.000 halaman) dan aneka ragam isinya, sehingga memang pantas jika disebut sebagai “baboning pangawikan Jawi”.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Serat Centhini mengambil figur penghulu sebagai ahli syariat, dan di sisi lain figur Syekh Amongraga sebagai ahli mistik. Ahli syariat juga digambarkan dalam serat ini, ada pada diri Sultan Agung. Penelitian yang dilakukan Pigeaud dan Drewes menyatakan, Serat Centhini lebih mengutamakan mistik. Sedangkan, S. Soebardi menilai, Serat Centhini menekankan pentingnya syariat.
Namun Pakubuwana V sendiri berpendapat, Serat Centhini mementingkan kedua-duanya, baik syariat maupun mistik. Wadah lan isine. Bentuk luar dan dalam. Kesimpulan itu, ditegaskan dengan diakhirinya Serat Centhini dengan kisah manunggalnya Syekh Amongraga sebagai figur ahli mistik dengan diri Sultan Agung sebagai figur ahli syariat, yang bisa diartikan, mistik (wiji nugraha) bersatu di dalam syariat(wadhah sakalir). Jadi, keduanya sama-sama penting tak terpisahkan, dan ini merupakan model hubungan antara syariat dan mistik, yang menggabungkan keduanya dalam kerangka tunggal.

Bukan Pilihan Kebetulan | Tampak bahwa, tidak ada kebetulan dalam proses penulisan Serat Centhini, karena ia telah diperhitungkan dengan matang. Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk (kemudian berganti nama Jamal dan Jamil), melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang (daerah Serang, Banten). Semua adalah wilayah yang senyatanya ada, dan masih bisa dilacak keberadaannya sampai hari ini.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa. Mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar.
Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang kemudian menjadi istrinya. Pada pertemuan dengan isteri itulah, setiap malamnya, Syekh Amongraga mewejang ilmu dan ngelmu, terutama ilmu hakikat dan makrifat Islam, di mana dalam setiap wejangan itu, Ni Centhini, turut serta mendengarkan, di luar kamar pengantin, karena ia (sebagai abdi kinasih, pembantu kesayangan), tak boleh jauh-jauh dari Tambangraras.
Jayengsari dan Ni Rancangkapti (perempuan) diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. Adalah juga nama-nama tempat yang sebagian besar masih hidup sampai kini.
Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan selamatan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui pengelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, hingga akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya. Meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Syekh Amongraga kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya, menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Pada sisi itulah, di hadapan kita disodorkan sesuatu data entri, yang bersifat ensiklopedis, namun dituturkan dengan gaya dongeng yang memikat. Sebuah cara pendekatan yang pekat, justeru karena memakai cara bertutur linier, meski dalam beberapa hal jadi membosankan dan membutuhkan kesabaran untuk membacanya. Namun dengan demikian pula, semua kejadian itu seolah wajar adanya, hidup, real, dan tidak kering karena kadang diseling dengan humor-humor yang nakal dan segar. Bahkan, disela-sela wejangan yang berat, dengan enteng pula bisa menyusup adegan mesum yang liar dan brutal.
Serat Centhini memang kemudian tampak sebagai ensiklopedi mengenai “dunia dalam” masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisanga. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah Serat Centhini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa.
Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik”, seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Sementara itu dalam pandangan Dr. Badri Yatim MA, menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri, antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Hidup dalam jamannya, yakni ketika ilmu dan ngelmu lebih banyak berada dalam kasanah lisan, Serat Centhini dalam bentuk tembang macapat juga lebih cepat menyebar sebagai sastra lisan. Apalagi pemilihan tembang macapat, yang menjadi jejaring media sosial pada waktu itu, adalah perekat untuk terjadinya transformasi nilai atau pengetahuan dari “pusat-pusat peradaban” ke daerah pinggiran.
Itulah sebabnya, Serat Centhini yang oleh beberapa orang dalam istana, ditembangkan dalam pertemuan-pertemuan umum di luar kraton, diserap oleh masyarakat luas. Mereka kemudian menyimak dan menyerap, hingga tak mengherankan ketika muncul banyak versi Serat Centhini pada waktu-waktu berikutnya. Ada beberapa versi yang bisa disebut seperti misalnya, Serat Centhini
Purwadiningratan, Serat Centhini Kusumadiningratan, Serat Centhini Ja-lalen, Serat Centhini Jawa Pegon, Serat Centhini Bahasa Jawa Timuran, Serat Centhini Pesantren, dan mungkin masih banyak lagi.
Berbeda dengan Serat Centhini Pisungsun (disebut juga Serat Centhini Pethikan), yang memang ditiru langsung atas perintah Pakubuwana VII, yang hendak memberikan hadiah kepada Kerajaan Belanda, dengan cara menulis ulang Serat Centhini jilid V s.d IX, hanya dengan penambahan pada pembuka jilid lima yang ditulis oleh R. Ng. Ranggawarsita, ditambah satu pupuh tembang dhandhanggula (17 bait) dan satu tembang sinom (1  bait). Mengapa hanya jilid V-IX? Pertimbangannya, karena isinya “caremedan”, alias lebih kental “hiburannya”, terutama cerita-cerita mengenai petualangan seks Ki Jayengraga dan Ki Kulawirya, dengan abdi konyolnya bernama Ki Nuripin.
Pada sisi itu, dengan caranya sendiri, Pangeran Adipati Anom atau yang kemudian Pakubuwana V, dengan cerdas merangkum semua pergolakan itu (aturan dan penyimpangan) menjadi suatu dongeng ensiklopedis yang menghanyutkan. Sebuah ensiklopedi yang mendongeng, memukau, dan kadang memabukkan.  
Namun, karena upaya Pakubuwana V dengan para pujangganyalah, kita sekarang ini bisa dengan mudah menjenguk masa lalu. Mereka pada abad 19 telah menciptakan sebuah time-tunel, yang dengan cepat mengantar generasi masa kini, masuk ke masa lalu, dengan pengetahuan, berupa catatan sejarah.


Sunardian Wirodono, sedang menyelesaikan
terjemahan "Serat Centhini" ke bahasa Indonesia
setelah novel
Centhini 2: Perjalanan Cinta
dibajak













Tidak ada komentar:

Posting Komentar